Hilir sungai Klawing |
KALI Klawing merupakan sungai terbesar di Kabupaten Purbalingga. Dengan hulu di Gunung Slamet sisi timur, menyatu dengan Sungai Serayu di Banyumas. Sungai ini disebut-sebut sebagai urat nadi salah satu pusat peradaban neolitikum. Di sekitar sungai ini ditemukan artefak seperti menhir, punden berundak, dan aneka kapak batu.Sungai ini ternyata menyimpan permata terpendam yang belum disentuh dengan optimal. Permata itu berupa batu yang memiliki potensi cerah di dunia gem atau permata dan bernilai ekonomi tinggi.
Di sepanjang DAS Kali Klawing ditemukan berbagai jenis batuan yang bagus untuk diolah menjadi berbagai kerajinan seperti batu akik dan liontin. Salah satu batu yang jadi buah bibir di dunia permata adalah jenis
lesang du christ atau darah Kristus. Berikut juga ditemukan jenis pancawarna yang tak kalah memesona. Ada pula jenis lain seperti badar besi, biduri lumut, naga sui, kinyang, dan fosil kayu. Bagi para peminat batu, jenis-jenis tersebut dinilai memiliki ”nafas” yang berpengaruh terhadap para pemakainya.Mas Nunu, salah satu pencari batuan dari Klawing |
Para pencari batu fosil di kali Klawing |
Meskipun demikian, potensi itu belum digarap secara maksimal oleh masyarakat di sekitar Kali Klawing atau pun oleh pemerintah. Masyarakat baru memanfaatkan dalam bentuk mentah. Mereka mengambil dan menjualnya pada pengepul dengan harga yang sangat murah. Untuk semua jenis batuan rata-rata dijual seharga Rp 2.500 per kilogram. ”Untuk kualitas yang baik saya beli Rp 2.500 per kilogram, untuk kualitas yang lebih rendah ya harganya lebih murah,” kata salah satu pengepul, Mudiharjo.
Contoh batuan dari kali Klawing yang sudah dibentuk menjadi batu cincin |
”Permata” itu kemudian dipasarkan ke luar daerah seperti Bandung dan Sukabumi. Dan yang menyakitkan lagi, dalam seminggu, sekitar delapan ton, batu itu dikirim ke luar daerah untuk diolah oleh perajin menjadi akik, perhiasan atau jenis kerajinan lain. Harganya pun meroket hingga 200 kali lipat setelah mendapat sedikit sentuhan perajin. Untuk jenis naga sui atau pancawarna di pasar dalam negeri, dibanderol paling murah Rp 100 ribu. Pemkab Purbalingga hingga saat ini belum memiliki regulasi terkait pemanfaatan potensi batu Kali Klawing tersebut. Kabid Perindustrian pada Dinas Peridustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Purbalingga, Agus Purhadi Satyo, mengatakan, belum ada aturan secara resmi tentang pengiriman batu tersebut ke luar Purbalingga.
Alat Sederhana
”Memang baru sebatas lisan agar warga tidak menjual dalam bentuk mentah,” katanya kepada Suara Merdeka di ruang kerjanya, kemarin.Ada memang beberapa yang sudah ”menyentuh” batu dari Kali Klawing untuk diolah menjadi akik. Tercatat ada empat perajik batu akik yang muncul di Purbalingga. Mereka masih menggunakan alat sederhana untuk mengolah batu mentah menjadi akik.
Contoh batuan dari Klawing yang masih mentah dan belum dibentuk |
Salah satu perajin batu akik, Sugiyanto, mengatakan, di Purbalingga batu akik dari Kali Klawing memiliki keistimewaan seperti corak, kombinasi warna, dan tingkat kekerasan tinggi. Dikatakan, pada 1995 di Purbalingga muncul CV Selo Aji Utomo yang bergerak menggarap batu Kali Klawing. Namun hanya untuk jenis batu taman (biseki). Hasilnya dipasarkan di luar negeri seperti Cina dan Korea. Namun perusahaan itu hanya mampu bertahan setahun.
Contoh batuan dari Klawing yang masih mentah dan belum dibentuk |
Beberapa nama perajin yang belakangan muncul, lanjutnya, belum seluruhnya bagus dari segi penggarapan. Meskipun demikian, mereka memiliki pangsa pasar sendiri yang sebagian besar adalah para kolektor.
Salah satu penjual batu akik, Sugeng Setiono, mengatakan, potensi pasar batu akik dari Kali Klawing sangat banyak. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. ”Saya menjualnya melalui media online. Biasanya saya kerja sama dengan perajin perak untuk membuat cincinnya. Saya jual antara Rp 200 ribu hingga Rp 1,5 juta,” katanya.